A.
Tuhan
dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
1.
Pengertian
Tuhan
Kata Tuhan
merujuk kepada suatu zat
abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan
memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya.[1]
Tuhan adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran (mind) manusia. Dalam stuktur dalam manusia, hati merupakan kamar
kecil yang terdapat di dalamnya yaitu hati nurani atau suara hati atau disebut
dengan bashirah merupakan satu titik
kecil atau kotak kecil (black box)
yang tersembunyi secara kuat dan rapih di dalam hati, hati nurani merupakan hot line manusia dengan Tuhan atau yang
menghubungkan manusia dengan tuhan atau disebut dengan (god spot) titik Tuhan disinilah Tuhan hadir di setiap manusia. Menurut Ibn Qayyim Al-Jauzy, bashirah adalah cahaya yang ditempatkan Allah di dalam hati manusia.[2] Di dalam Hadits Rasulullah SAW (Hadis Qudsi) bahwa Allah SWT berada di dalam inti manusia berikut Hadistnya:
menghubungkan manusia dengan tuhan atau disebut dengan (god spot) titik Tuhan disinilah Tuhan hadir di setiap manusia. Menurut Ibn Qayyim Al-Jauzy, bashirah adalah cahaya yang ditempatkan Allah di dalam hati manusia.[2] Di dalam Hadits Rasulullah SAW (Hadis Qudsi) bahwa Allah SWT berada di dalam inti manusia berikut Hadistnya:
“Aku jadikan pada manusia
itu ada istana (qashr), didalam istana itu ada dada (Shadr), di dalam shadr itu
ada kalbu (Qalb), di dalam qalb itu ada (fu’ad) , di dalam fu’ad itu ada
(syaghaf), di dalam syaghaf itu ada (lubb), di dalam lubb itu ada (sirr), dan
di dalam sirr itu ada Aku (Ana).”[3]
Hadist ini
menjelaskan bahwa Aku ini adalah Allah SWT. Hati nurani akan menjadi
pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat sesuai
dengan world viewnya (iman). Karena iman terletak di kalbu. Untuk itulah kalbu
itulah yang menjadi sasaran pendidikan untuk diisi dengan iman.
Allah SWT
merupakan sang pencipta manusia dan alam semesta yang disebut dengan khalik (sang pencipta) namun sering
disebut juga dengan Al-Rabb, Rabb al-Alamin, Rabb kulli syai’.
Berdasarkan kata dasar dari Rabb yaitu memperbaiki, mengurus, mengatur dan juga
mendidik. Rabb biasa diterjemahkan dengan Tuhan yang mengandung pengertian
sebagai Tarbiyah (yang
menumbuhkembangkan sesuatu secara bertahap dan berangsur-angsur sampai
sempurna), juga sebagai murabbi (yang
mendidik). Dengan demikian sebagai al-rabb,
atau rabb al-alamin, Allah adalah
yang mengurus, mengatur, memperbaiki proses penciptaan alam semesta.[4]
Allah dalam
artian menumbuh kembangkan merupakan fungsi rububiyah yang biasa dipahami
sebagai fungsi kependidikan. Jadi proses penciptaan alam semesta dan manusia
merupakan hakikat perwujudan atau realisasi dari fungsi rububiyah
(kependidikan). Sebagaimana dalam Firman Allah yang merupakan wahyu yang
pertama yang di terima oleh Rasulullah SAW yaitu sebagai berikut:
Terjemahan:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. (Qs.
Al-Alaq:1-5).
Dalam Ayat diatas Allah merupakan
seorang pendidik yang memberi pengajaran dari ciptaan-Nya, karena Allah SWt
menginginkan manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan akhirat karena
itulah manusia harus mempunyai bekal pengetahuan agar mengetahui apa yang belum
diketahuinya.
B.
Manusia
dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
1.
Pengertian
Manusia
Dalam
Al-Qur’an manusia disebut dengan nama:
a.
Insan,
ins, nas, unas
Manusia secara bahasa disebut juga insan
yang dalam bahasa arab yaitu:
1)
nasiya
yang berarti lupa. Kata
insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa.[5] Ini
menunjukan bahwa adanya keterkaitan manusia dengan kesadaran dirinya.
2)
al-uns
yang berarti jinak atau harmoni dan tampak. Jinak artinya manusia selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. [6]
3)
Anasa yanusu yang artinya
berguncang menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan
raganya.[7]
Ini menunjukan adanya keterkaitan substansial antara manusia dengan kemampuan
penalaran. Dengan penalaran manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang
dilihatnya, mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk
meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan haknya. Pengertian ini menunjukan
bahwa pada manusia terdapat potensi untuk dapat dididik , sehingga ia disebut
juga makhluk yang di beri pelajaran (animal
educabil).
Manusia dalam
pengertian insan menunjukan makhluk yang berakal, yang berperan sebagai subyek
kebudayaan. Dapat juga dikatakan bahwa manusia sebagai insan menunjukan manusia
sebagai makhluk psikis yang mempunyai potensi rohani, seperti fitrah, kalbu,
akal. Potensi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang tertinggi
martabatnya dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.[8]
b.
Al-Basyar
(makhluk Biologis)
Al-Basyar meupakan bentuk
jamak dari kata Basyarah (permukaan
kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuh rambut). Manusia
merupakan subjek kebudayaan dalam pengertian material sebagai yang tampak dalam
aktivitas fisiknya.[9]
c.
Bani
Adam atau Zurriyat Adam
Manusia disebut
dengan Bani Adam karena manusia merupakan keturunan dari Nabi Adam.
2.
Hakekat
Manusia
Dalam pengertian
yang telah dijelaskan diatas bahwa manusia mempunyai dua komponen yaitu jasmani
dan rohani. Dengan kelengkapan fisik atau jasmani manusia dapat melaksanakan
tugas-tugasnya yang memerlukan dukungan fisik dan dengan kelengkapan rohaninya
ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya
untuk memfungsikan kedua unsur tersebut secara baik diperlukan pembinaan dan
bimbingan disinilah pendidikan sangat diperlukan berikut ini penjelasan penulis
antara dua komponen tersebut yaitu sebagai berikut:
a.
Jasmani
Manusia sebagai
pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini bisa diraih
dengan jasmani yang sehat dan kuat sebagaimana firman Allah Dalam QS.
Al-Baqarah: 247 berikut penggalan ayatnya:
Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih
rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.(Qs. Al-Baqarah:247)
Aspek jasmaniah merupakan salah satu pokok untuk
mendapatkan kemajuan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia, Kebutuhan jasmani
berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan manusia
terutama sebagai sarana untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
b.
Rohani
Terjemahan:
Maka apabila
Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(Qs. AL-Hijr:29).
Dalam ayat
tersebut bahwa Allah SWT menyempurnakan proses kejadian manusia dengan meniupkan ruh pada diri manusia maka ketika
ruh telah ditiupkan maka pada saat itulah manusia dalam bentuk yang sempurna
mempunyai sifat dan potensi untuk mengetahui sesuatu berikut ini beberapa
potensi rohani yang dimiliki oleh manusia yaitu sebagai berikut:
1). Fitrah
Kata
fitrah (fathara) mempunyai arti
belahan, muncul, kejadian dan penciptaan. Maka yang dimaksud fitrah adalah
keadaan semula jadi atau bawaan sejak lahir manusia.[10]
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Qs. AR-Ruum:30).
Pada
ayat tersebut bahwa sejak asal kejadian manusia telah diciptakan membawa fitrah
(potensi) keberagamaan yang benar, yakni agama hanif dan agama tauhid, tidak
bisa menghindar (la tabdila) dari
fitrah itu.
Fitrah-fitrah ini
merupakan kesiapan-kesiapan anak manusia untuk bisa dibentuk menjadi manusia
dengan segala keunggulannya. Kesiapan
manusia menjadi makhluk rasional intelektual misalnya, sudah diberikan oleh
Allah dalam bentuk kemampuan untuk membuat
kategori-kategori dan kemampuan menempatkan realita-realita dalam suatu kerangka ruang dan waktu.
Kesepakatan-kesepakatan yang dimiliki manusia dalam menyerap fenomena-fenomena
empiris menunjukkan kesiapannya untuk menjadi makhluk rasional yang mampu untuk menalar dan mampu menggagas konsep dan
inferensi dari apa yang diamatinya.
Namun
pengetahuan dan kesiapan alamiah untuk tersebut tertutup oleh kesibukan manusia
dalam memenuhi jasmaninya oleh karena itu manusia perlu sesuatu yang dapat
membangkitkan kesiapan alamiahnya mengingat kelalaian dan membangkitkannya dari
ketidak sadaran. Semua itu akan terwujud melalui Pendidikan yang merupakan usaha sadar mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada seorang anak didik. Dengan kata lain, pendidikan
berusaha untuk mengoptimalkan kemampuan dari anak didik sesuai dengan
potensinya dengan menyuguhkan kepada anak didik media-media dan
informasi-informasi yang akan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.
Pendidikan yang baik seyogyanya mampu mengenal
potensi-potensi yang dimiliki oleh seorang anak didik untuk bisa dikembangkan
sesuai dengan kemampuannya. Bisa disebutkan disini suatu proses pemurnian potensi
manusia yang bisa diistilahkan sebagai proses penghanifan. Penghanifan berarti
membawa kembali potensi dari seorang manusia rujuk ke potensi fitrah untuk
kemudian diisi dengan informasi dan pengetahuan-pengetahuan yang baik dan
berguna sehingga potensi mampu berkembang sesuai dengan fitrahnya.
Karena Manusia
telah di desain jiwanya untuk beragama secara benar, memiliki fitrah diri
(keadaan semula), jadi manusia mempunyai karakter alamiah untuk berbuat baik sehingga
manusia mudah mengerjakan perbuatan baik karena sesuai dengan fitrahnya.
2). Syahwat
Syahwat
berasal dari bahasa arab syahiya-syaha
yasyha-syahwatan secara lughawi berarti menyukai dan menyenangi. Sedangkan
pengertian syahwat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya.[11] Berikut ini Allah SWT menggambarkan potensi syahwat dalam QS. Al-Imran
ayat 14 yaitu sebagai berikut:
Terjemahan:
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga). (Qs.
Al-Imran:14).
Dalam ayat diatas pada dasarnya
manusia mempunyai kecenderungan kesenangan kepada wanita (Seksual), anak-anak
(kebanggaan), harta kekayaan (kebanggaan, kesombongan, dan kemanfaatan),
kendaraan yang bagus (kebanggaan, kenyamanan, kemanfaatan), binatang ternak (
kesenangan dan kemanfaatan) dan sawah ladang (Kesenangan da kemamfaatan).
Dengan demikan Syahwat
merupakan bentuk yang berhubungan dengan kesenangan duniawi saja namun menurut
Al-Qur’an ini manusiawi, syahwat menimbulkan potensi untuk berlaku menyimpang.
Namun baik dan bagusnya syahwat itu kalau di bimbing dan diberi petunjuk hikmah
(petunjuk akal dan syariat). Dalam Qs. Al-Hujurat: 14 merupakan refleksi dari
potensi syahwat yang dibimbing dan dibina oleh petunjuk hikmah dan syariat
berikut Firman Allah SWT:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar (QS.
Al-Hujurat:150).
Berjuang dengan harta benda adalah sifat
pemurah dan berjuang dengan jiwa ini merupakan refleksi dari syahwat yang
terpimpin dan terbina. Dengan adanya syahwat maka manusia memerlukan arahan
bimbingan dan binaan untuk mencapai syahwat yang lurus.
3). Aql (Akal)
Akal
yang berasal dari bahasa arab aqala
yaitu mengikat atau menahan. secara umum akal difahami sebagai potensi yang
disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan.[12] aqala mengandung arti yaitu
mengerti, memahami, berfikir.
Menurut
Al-ghazali yang dikutif oleh Zainuddin dalam bukunya seluk beluk pendidikan
dari Al-Ghazali pengertian akal ada empat tahapan sesuai dengan tahap
perkembangan akal pikiran manusia yaitu:
a) Akal yaitu suatu sifat yang membedakan manusia dari segala binatang.
b) Hakikat akal adalah ilmu pengetahuan yang tumbuh pada anak usia tamyiz.
c) Hakikat akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dengan
berlangsung berbagai keadaan.
d) Hakikat akal adalah puncak kekuatan ghaizah (semangat) untuk mengetahui
akibat dari segala persoalan dan mencegah hawa nafsu, yang mengajak pada
kesenangan seketika dan mengendalikan syahwat tersebut.
Pendidikan akal
merupakan cakupan pencapaian kebenaran ilmiah yaitu kebenaran diperoleh melalui
penelaahan terhadap sumber-sumber yang valid. Dalam ayat berikut ini bahwa
manusia agar memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas kehidupan
ini merupakan kegiatan pendidikan dari akal.
Maka apakah
mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan. Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?
3. Proses Kejadian Manusia
Terjemahan:
Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.(Qs. Al-Muminuun:12-14).
Dalam ayat
diatas Allah menjelaskan tahapan demi tahapan proses kejadian manusia sampai
kepada kesempurnaan. Manusia diciptakan dari sejak awal pemancaran (bentuk
nutfah) berkembang menuju martabat manusia yang sempurna dengan segala
karakterristiknya, Allah bermaksud membuktikan ketuhanan-Nya dengan
mempersaksikan hakikat dirinya sendiri. Manusia merupakan makhluk lemah yang
tidak mampu menguasai, mengatur dan memelihara dirinya sendiri sehingga ia
membutuhkan penguasa, pengatur, dan pemelihara yaitu Allah Rabb Al-Alamin.
Terjemahan:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(Qs. An-Nahl 78).
Manusia ketika
lahir yang tidak mengetahui apa-apa tetapi Allah SWt membekali manusia alat
berupa pendengaran, penglihatan dan hati untuk dipergunakan secara baik dan
benar aga manusia bisa mengetahui segala sesuatunya melalui alat tersebut
sehingga manusia bersyukur apa yang di dapatnya dari Alah SWT.
4.
Golongan
Manusia
Al-Ghazali membagi umat manusia kedalam
tiga golongan:
a.
Kaum
Awam; yang cara berpikirnya sederhana sekali tidak dapat
menangkap hakekat-hakekat, mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut.
Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.[13]
b.
Kaum
pilihan; yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam harus
dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat.
c.
Kaum
Penekar; harus dihadapi dengan sikap mematahkan argumen-argumen.
Terjemaahan:
Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
siapa yang dapat petunjuk. (Qs. AN-Nahl: 125).[14]
C.
Alam
dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Alam semesta, kata
ini digunakan untuk menjelaskan seluruh ruang waktu kontinu di mana kita
berada, dengan energi
dan materi yang
dimilikinya.[15]
Alam semesta adalah kumpulan jauhar yang tersusun dari materi (maddah) dan bentuk (Shurah) yang ada di langit (al-jawhar
al murakka min al-madah wa al-shurah min ardh wa sama).[16]
Islam memandang bahwa alam adalah ciptaan Allah SWT, sekaligus merupakan
bukti karya agung-Nya, sebagai konsekuensinya alam adalah pesan dan tanda-tanda
Allah akan keberadaan-Nya. Alam merupakan wahyu yang tidak tertulis. Jadi
setiap manusia harus membaca wahyu Allah yang baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis.[17]
Seluruhnya makhluk Tuhan yang diciptakan untuk satu tujuan, alam ini
tunduk di bawah sunah Allah dengan ketentuan-ketentuan-Nya.[18]
Terjemahan:
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang
ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.(Qs. Al-Israa:44).
Tuhan telah menjadikan alam dengan
seperangkat aturannya yang dia sebut dengan istilah qadar. Qadar
baginya bukanlah seperti apa yang dipahami oleh mayoritas para teolog (mutakallimum)
sebagai ketentuan yang deterministik, mengikat serta membatasi kebebasan
manusia, melainkan segala ketentuan yang ada pada alam
ini, terutama benda-benda fisik. Qadar itulah yang memberikan
karakteristik dan sifat khusus padanya. Karakteristik dan sifat itulah yang
merupakan amar Tuhan terhadap alam. Karenanya segala yang ada di alam
adalah Islam, karena ia tunduk dan patuh terhadap amar Tuhan. Amar Tuhan
itulah yang kemudian menjadi amanah bagi alam ini. Karenanya, pula,
al-Qur`an mengatakan bahwa alam bertasbih kepada Tuhan. Tuhan menciptakan alam semesta ini bukanlah tanpa tujuan.
Ia hendak merealisasikan tujuanNya itu lewat ciptaanNya dan misiNya yaitu untuk beribadah kepada-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Mubarok. Al-Irsyad
an Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus. (2002. Bina Rena
Pariwara:Jakarta).
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam.
(2004.PT. Remaja Rosdakarya:Bandung)
Syamsudin Noor dan Karman Al-Kuninganiy. Tafsir
Tarbawiy. (2002. P3M STAIN: Ambon)
Hasyim Syah Nasution. Filsafat
Islam. (Bulan Bintang_____.______)
http://id.wikipedia.org/wiki/Alam Semesta.
http://id.wiktionary.org/wiki/Tuhan.
Jamil Syaliba. Mu’jam
al-Falsafiy. jilid II (Beirut: Dar al-kitab al-Lubnaniy, 1973),
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan
NonDikhotomik. (2002. Gama Media: Yogyakarta).
[1]
http://id.wiktionary.org/wiki/Tuhan.
[2] Ahmad Mubarok. Al-Irsyad an Nafsiy
Konseling Agama Teori dan Kasus. (2002. Bina Rena Pariwara:Jakarta). Hal 31
[3]
Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan
Islam. (2006: PT. Remaja Rosdakarya. Bandung) hlm28.
[4]
Muhaimin. Paradigma Pendidikan
Islam. (2004.PT. Remaja Rosdakarya:Bandung) hal 28.
[5] Ahmad Mubarok. Op,cit Hal 31.
[6] Ibid,.
[7] Ibid,.hal 25
[8] Syamsudin Noor dan Karman Al-Kuninganiy.
Tafsir Tarbawiy. (2002. P3M STAIN: Ambon) hal 14.
[9]
Ibid,.
[10] Achmad Mubarok. Op, cit hal 35
[11] Ibid,.
[12] Ibid,.hal 32.
[13]
Hasyim Syah Nasution. Filsafat
Islam. (Bulan Bintang_____.______) hal 45-46.
[14]
. Qs. AN-Nahl: 125 . juz 14. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. (Darusalam. Riyad. 2006). hal 383.
[16] Jamil Syaliba. Mu’jam al-Falsafiy. jilid
II (Beirut: Dar al-kitab al-Lubnaniy, 1973), hlm. 45.
[17] Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan
NonDikhotomik. (2002. Gama Media: Yogyakarta). Hal 45.
[18]
Syamsudin Noor dan Karman
Al-Kuninganiy.op,.cit. hal 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar