I. PENDAHULUAN
Islam
memiliki keberagaman, agama islam sangat komplek dalam menjalankan keagamaannya, karena manusia berbeda dalam
menghayati keagamaannya. Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa serta
berkehendak dimana perilakunya mencerminkan apa yang difikirkan, yang dirasa
dan yang dikehendakinya sehingga timbul makna berbeda pada setiap orang.
Psikologi atau ilmu jiwa adalah
jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat
diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah
terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama
sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar
tidaknya suatu
agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang
selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan
seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam
jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan
menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
II.
ISLAM DALAM
PENDEKATAN PSIKOLOGI (ISLAMIC PSYCOLOGY APPROACH)
Psikologi terdiri dari dua kata
yaitu Psyche (jiwa, roh) logos (ilmu). Psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia.[1]
Pendekatan psikologi adalah
cara pandang psikologi terhadap berbagai fenomena dan dimensi-dimensi tingkah
laku baik dilihat secara individual, sosial, dan spritual maupun tahapan
perkembangan usia dalam memahami agama.
Kebutuhan manusia yang bersifat
psikis yang alami diantaranya adalah dorongan beragama sebab jiwa manusia
merasakan sesuatu dorongannya untuk meneliti dan berpikir guna mengetahui penciptanya dan pencipta alam
semesta. Juga mendorong untuk beribadah, berawassul dan berlindung kepada-Nya,
sambil meminta pertolongan kepada-Na, manakala tertimpa musibah dan kesulitan
hidup. Dalam perlindungan dan pemelihara-Nya, manusia akan memperoleh keamanan
dan ketentraman.
Hal ini akan ditemukan dalam
tinkah laku manusia dalam berbagai masyarakat, hanya konsepsi manusia tentang
tabiat Tuhandan jalan yang ditempuh dalam menyembah-Nya, berbeda sesuai dengan
taraf pemikiran dan tingkat perkembangan budayanya. Perbedaan tersebut hanyalah
perbedaan dalam cara mengekspresikan dorongan alamiah yang terdapat dalam jiwa
manusia yang paling dalam.
1.
Fitrah
Manusia
Fitrah (fathara) yaitu belahan, muncul, kejadian dan penciptaan. Fitrah
manusia adalah keadaan semula jadi atau bawaan sejak lahir manusia.[2]
Manusia memiliki fitrah diri
(keadaan semula jadi) yang positip, bahwa manusia itu telah disiapkan untuk
berbuat baik, dan untuk itu manusia mudah mengerjakannya karena sesuai dengan
fitrahnya. Jika seseorang mengerjakan perbuatan buruk, maka orang itu terpaksa
harus ekstra kerja keras, harus bersusah payah karena ia melawan fitrah
asalnya, melawan hati nurani.[3]
Terjemah:
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui(Qs. Ar-Ruum:30).[4]
Dalam
ayat ini, Allah Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri (kesiapan alami) beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak
beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Sebagaimana
dalam Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra:
Arinya: Semua anak
dilahirkan membawa (potensi) fitrah keberagamaan yang benar. Kedua orangtuannya
yang menjadikan ia menganut agama Yahudi, atau Nasrani (Kristen) atau majusi,
sebagaimana halnya binatang akan menghasilkan binatang (HR. Abu Hurairah).
Menurut Al-Ghazali sifat dari dasar yang dibekali sejak
lahir dengan memiliki keistimewaan yaitu:
a.
Beriman Kepada Allah SWT
b.
Kemampuan dan bersedia untuk menerima kebaikan dan
ketuunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
c.
Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang
merupakan daya untuk berpikir.
d.
Dorongan biologis yang berupa syahwat dan godlob atau
insting
2.
Syahwat
Manusia
Syahwat berasal dari bahasa Arab Syahiya-syaha
yasyha-syahwatan, secara lughawi berarti menyukai dan menyenangi. Sedangkan
pengertian syahwat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya; nuzu’an nafs ila ma turiduhu.[6]
Jika dalam agama Budha dikenal adanya ajaran yang mengendalikan
kesenangan (hidup adalah samsara, samsara disebabkan karena adanya keinginan,
untuk menghilangkan samsara dilakukan dengan cara menghilangkan kinginan, dan
untuk menghilangkan keinginan harus mengikuti metode delapan jalan) maka dalama
Islam dikenal adanya ajaran yang mengendalikan nafsu syahwat, seperti puasa,
zakat, sedekah, zuhud dan sakha.[7]
Puasa melatih pengendalian syahwat
yang berhubungan dengan perut dan emosi. Zakat melatih pengendalian diri
dari syahwat yang berhubungan dengan cinta harta. Zuhud artinya
meninggalkan orientasi duniawi dalam kehidupan, sedangkan sakha artinya
memberikan sesuatu yang dibutuhkan orang lain sebelum diminta. Syahwat harus di bimbing dan
kekuatan petunjuk hikmah untuk mencapai kebaikan dan kelurusan .
Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang
terdalam dari dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan
membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara
lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas; dari sekedar
moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan, dari ekpressi spiritual
yang sangat individu hingga tindakan kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah
dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon
agama (misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami agama
secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama yang mencakup
semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama tidak komprehensip dan
hanya memuaskan pembuatnya.
Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri
mengatakan bahwa, kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya,
kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya
(karamul mu’mini dinuhu, wa muru’atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn
Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga lima kali
nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang baik, dan nabi
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah sekuat mungkin
jangan marah, (an la taghdlaba in istatha`ta). (at Tarhib jilid III, h.
405-406).
Jadi pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi mencoba menguak
bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi keberagamaan seseorang
juga memiliki keragaman corak yang diwarnai oleh berbagai cara berfikir dan
cara merasanya. Seberapa besar Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang
sangat bergantung kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab
Psikoanalisa) keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi mazhab
Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar perilaku karena manusia
tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip sudah mulai menghargai kemanusiaan, dan
mazhab Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan
makna hidup yang dengan itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan
paradigma baru atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan
manusia.
Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar
hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias culture,
oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk menguak keberagamaan
orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi Barat begitu sulit menganalisis
fenomena Revolusi Iran yang dipimpin Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi’ah
tidak tercover oleh Psikologi Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa
membedah apa makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati. Keberagamaan
seseorang harus diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni psikologi yang
berbasis kultur masyarakat yang diteliti. Untuk meneliti keberagamaan orang
Islam juga hanya mungkin jika menggunakan paradigma The Islamic Indigenous
Psychology.
Psikologi
sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya menhunjam jauh ke
zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian tentang jiwa tidak seperti
psikologi yang menekankan pada perilaku, tetapi jiwa dibahas dalam kontek
hubungan manusia dengan Tuhan, oleh karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa
(`ilm an nafs), tetapi ilmu Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberagamaan seorang
muslim dengan pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas
keberagamaan kaum muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat.
Term-term Qalb, `aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu) yang ada dalam al Qur’an akan lebih memudahkan menangkap realitas
keberagamaan seorang muslim.
Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of
Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut Encyclopedia itu,
agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic features of religion) sebagai
berikut :
1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sacral
4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap,
cemas, merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau
diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan gagasan
Ketuhanan.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi
lainnya dengan Tuhan
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan
dihubungkan dengan Tuhan
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.
III.
PENUTUP
Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja
karena agama itu sangat beragam, bahkan satu agamapun, Islam misalnya memiliki
keragaman keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang sangat
rational, ada yang tradisional, ada yang “fundamentalis” dan ada yang
irational. Keberagamaan orang beragama juga ada yang konsisten antara
keberagamaan individual dengan keberagamaan sosialnya, tetapi ada yang secara
individu ia sangat saleh, ahli ibadah, tetapi secara sosial ia tidak saleh.
Sebaliknya ada orang yang kebeagamaanya mewujud dalam perilaku sosial yang
sangat saleh, sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah
secara memadai.
[1]
Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. (PT Remaja
Rosdakarya:Bnadung.2002). hal 1.
[2] Ahmad Mubarok. Al irsyad an Nafsiy (konseling Agama
Teori dan Kasus). (PT. Bina Rena Pariwara: Jakarta. 2000). Hal 35.
[3] Ibid. hal 36.
[4]Departemen Agama RI. Al-Qur’an
dan Terjemahannya.
[5] Zainuddin. Seluk Beluk Pendidikan dari
Al-Ghazali. (1991. Bumi Aksara: Jakarta). Hal66-67.
[6] Ahmad Mubarok.hal 37.
[7] Ahmad Mubarok.38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar