Minggu, 14 Oktober 2012

ISLAM DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGI (ISLAMIC PSYCOLOGY APPROACH)


I.          PENDAHULUAN
Islam memiliki keberagaman, agama islam sangat komplek dalam menjalankan keagamaannya, karena manusia berbeda dalam menghayati keagamaannya. Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa serta berkehendak dimana perilakunya mencerminkan apa yang difikirkan, yang dirasa dan yang dikehendakinya sehingga timbul makna berbeda pada setiap orang.
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu
agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
II.          ISLAM DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGI (ISLAMIC PSYCOLOGY APPROACH)
Psikologi terdiri dari dua kata yaitu Psyche (jiwa, roh) logos (ilmu). Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.[1]
Pendekatan psikologi adalah cara pandang psikologi terhadap berbagai fenomena dan dimensi-dimensi tingkah laku baik dilihat secara individual, sosial, dan spritual maupun tahapan perkembangan usia dalam memahami agama.
Kebutuhan manusia yang bersifat psikis yang alami diantaranya adalah dorongan beragama sebab jiwa manusia merasakan sesuatu dorongannya untuk meneliti dan berpikir  guna mengetahui penciptanya dan pencipta alam semesta. Juga mendorong untuk beribadah, berawassul dan berlindung kepada-Nya, sambil meminta pertolongan kepada-Na, manakala tertimpa musibah dan kesulitan hidup. Dalam perlindungan dan pemelihara-Nya, manusia akan memperoleh keamanan dan ketentraman.
Hal ini akan ditemukan dalam tinkah laku manusia dalam berbagai masyarakat, hanya konsepsi manusia tentang tabiat Tuhandan jalan yang ditempuh dalam menyembah-Nya, berbeda sesuai dengan taraf pemikiran dan tingkat perkembangan budayanya. Perbedaan tersebut hanyalah perbedaan dalam cara mengekspresikan dorongan alamiah yang terdapat dalam jiwa manusia yang paling dalam.
1.      Fitrah Manusia
Fitrah (fathara) yaitu belahan, muncul, kejadian dan penciptaan. Fitrah manusia adalah keadaan semula jadi atau bawaan sejak lahir manusia.[2]
Manusia memiliki fitrah diri (keadaan semula jadi) yang positip, bahwa manusia itu telah disiapkan untuk berbuat baik, dan untuk itu manusia mudah mengerjakannya karena sesuai dengan fitrahnya. Jika seseorang mengerjakan perbuatan buruk, maka orang itu terpaksa harus ekstra kerja keras, harus bersusah payah karena ia melawan fitrah asalnya, melawan hati nurani.[3]
Terjemah:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui(Qs. Ar-Ruum:30).[4]
       Dalam ayat ini, Allah Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri (kesiapan alami) beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Sebagaimana dalam Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra:



       Arinya: Semua anak dilahirkan membawa (potensi) fitrah keberagamaan yang benar. Kedua orangtuannya yang menjadikan ia menganut agama Yahudi, atau Nasrani (Kristen) atau majusi, sebagaimana halnya binatang akan menghasilkan binatang (HR. Abu Hurairah).
Menurut Al-Ghazali sifat dari dasar yang dibekali sejak lahir dengan memiliki keistimewaan yaitu:
a.       Beriman Kepada Allah SWT
b.      Kemampuan dan bersedia untuk menerima kebaikan dan ketuunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
c.       Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berpikir.
d.      Dorongan biologis yang berupa syahwat dan godlob atau insting
e.       Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat di kembangkan dan sempurna.[5]
2.      Syahwat Manusia
Syahwat berasal dari bahasa Arab Syahiya-syaha yasyha-syahwatan, secara lughawi berarti menyukai dan menyenangi. Sedangkan pengertian syahwat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya; nuzu’an nafs ila ma turiduhu.[6]
Jika dalam agama Budha dikenal adanya ajaran yang mengendalikan kesenangan (hidup adalah samsara, samsara disebabkan karena adanya keinginan, untuk menghilangkan samsara dilakukan dengan cara menghilangkan kinginan, dan untuk menghilangkan keinginan harus mengikuti metode delapan jalan) maka dalama Islam dikenal adanya ajaran yang mengendalikan nafsu syahwat, seperti puasa, zakat, sedekah, zuhud dan sakha.[7]
Puasa melatih pengendalian syahwat yang berhubungan dengan perut dan emosi. Zakat melatih pengendalian diri dari syahwat yang berhubungan dengan cinta harta. Zuhud artinya meninggalkan orientasi duniawi dalam kehidupan, sedangkan sakha artinya memberikan sesuatu yang dibutuhkan orang lain sebelum diminta. Syahwat harus di bimbing dan kekuatan petunjuk hikmah untuk mencapai kebaikan dan kelurusan .
            Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas; dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan, dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama (misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami agama secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.
            Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa, kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul mu’mini dinuhu, wa muru’atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang baik, dan nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah sekuat mungkin jangan marah, (an la taghdlaba in istatha`ta). (at Tarhib jilid III, h. 405-406).
Jadi pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi mencoba menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi keberagamaan seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang sangat bergantung kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab Psikoanalisa) keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi mazhab Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip sudah mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang dengan itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan paradigma baru atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan manusia.
Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias culture, oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk menguak keberagamaan orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi Barat begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi’ah tidak tercover oleh Psikologi Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati. Keberagamaan seseorang harus diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni psikologi yang berbasis kultur masyarakat yang diteliti. Untuk meneliti keberagamaan orang Islam juga hanya mungkin jika menggunakan paradigma The Islamic Indigenous Psychology.
Psikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya menhunjam jauh ke zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian tentang jiwa tidak seperti psikologi yang menekankan pada perilaku, tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan, oleh karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa (`ilm an nafs), tetapi ilmu Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberagamaan seorang muslim dengan pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas keberagamaan kaum muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat. Term-term Qalb, `aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu) yang ada dalam al Qur’an akan lebih memudahkan menangkap realitas keberagamaan seorang muslim.
Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut Encyclopedia itu, agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic features of religion) sebagai berikut :
1.      Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2.      Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3.      Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sacral
4.      Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5.      Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas, merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan gagasan Ketuhanan.
6.      Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan
7.      Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan dihubungkan dengan Tuhan
8.      Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.
III.     PENUTUP
Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu sangat beragam, bahkan satu agamapun, Islam misalnya memiliki keragaman keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang sangat rational, ada yang tradisional, ada yang “fundamentalis” dan ada yang irational. Keberagamaan orang beragama juga ada yang konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan sosialnya, tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh, ahli ibadah, tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang yang kebeagamaanya mewujud dalam perilaku sosial yang sangat saleh, sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara memadai.





[1] Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. (PT Remaja Rosdakarya:Bnadung.2002). hal 1.
[2] Ahmad Mubarok. Al irsyad an Nafsiy (konseling Agama Teori dan Kasus). (PT. Bina Rena Pariwara: Jakarta. 2000). Hal 35.
[3] Ibid. hal 36.
[4]Departemen Agama RI.  Al-Qur’an dan Terjemahannya.
[5] Zainuddin. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. (1991. Bumi Aksara: Jakarta). Hal66-67.
[6] Ahmad Mubarok.hal 37.
[7] Ahmad Mubarok.38

Tidak ada komentar: